Pada awal 2018, saya bekerja di sebuah startup di kawasan Kuningan. Ruang kerja ber-AC, deadline menumpuk, dan rapat sering molor sampai malam. Saya tidak menyadari kapan kebiasaan makan saya berubah: sarapan terlambat atau dilewati, makan siang di depan laptop, dan cemilan manis sebagai “hadiah” saat lembur. Malamnya? Mie instan atau nasi bungkus di antara tugas-tugas yang belum selesai. Saya merasa capek setiap hari. Lebih penting lagi, saya sering bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar lapar atau hanya stres?”
Itu momen paling jujur: rasa bersalah, malu karena tahu nutrisi saya amburadul, dan kebingungan harus mulai dari mana. Saya sudah coba daftar diet yang berbeda, tapi tiap-tiapnya gagal karena tekanan kerja memicu pola makan emosional. Konflik itu membuat saya mencari pendekatan yang bukan sekadar “aturan makan” — saya butuh kerja pada penyebabnya.
Saya mulai meditasi sebagai eksperimen. Tidak dramatis: 10 menit sebelum berangkat kerja, duduk di pinggir balkon apartemen, mata menutup setengah, fokus pada napas. Minggu pertama terasa canggung. Pikiran seperti radio yang tidak pernah berhenti. Tapi saya konsisten; setiap pagi saya kembali ke napas. Setelah tiga minggu, sesuatu berubah. Saya menjadi sedikit lebih mampu mengenali perasaan saat muncul: gelisah, bosan, lapar.
Saya ingat satu pagi November, setelah rapat yang menyulitkan, saya berdiri di pantry dan hampir memanggang roti dan selai. Biasanya saya langsung makan. Kali itu saya bilang pada diri sendiri, “Tunggu 3 menit, tarik napas tiga kali.” Tiga napas itu cukup untuk memberi jarak. Saya bertanya jujur: “Apakah aku benar-benar lapar?” Jawabannya: bukan. Hanya ingin pelarian. Ada perasaan lega yang aneh. Itu titik balik kecil.
Meditasi mengajarkan saya untuk memperlambat. Lalu saya mengaplikasikannya ke makan: mindful eating. Praktiknya sederhana tapi berdampak besar. Sebelum makan, saya pause 30 detik—napas dalam, amati warna dan tekstur makanan, cium aromanya. Saya kunyah perlahan, 20-30 kali per sendok, fokus pada rasa. Efeknya nyata. Porsi saya mengecil tanpa merasa kekurangan. Keinginan ngemil malam berkurang.
Saya juga mulai mencatat hasilnya. Setelah tiga bulan rutin meditasi dan mindful eating, saya cek kesehatan untuk memastikan perubahan bukan sekadar perasaan. Saya lakukan pemeriksaan dasar — gula darah, profil lipid — di mylabsdiagnostic. Hasilnya: gula puasa sedikit turun, kolesterol LDL menurun, dan saya merasa lebih energik. Angka-angka itu bukan hadiah utama, tapi validasi bahwa kebiasaan kecil bisa memengaruhi fisiologi.
Sebagai contoh konkret: saya mengganti cemilan larut malam dengan satu buah apel dan segenggam kacang. Ada malam-malam ketika godaan kuat. Saya gunakan teknik napas 4-4-4 (tarik napas 4 detik, tahan 4, hembus 4) lalu minum segelas air. Seringkali rasa itu hilang. Teknik sederhana ini menyelamatkan puluhan kalori dan membuat tidur lebih nyenyak.
Setahun berlalu, dan hasilnya terasa di rutinitas harian saya. Saya tidak jadi ‘sempurna’ — masih ada hari-hari malas. Namun frekuensi pola makan emosional jauh menurun. Energi lebih stabil, mood lebih baik, dan saya makan lebih variatif: sarapan protein (telur atau yoghurt), porsi sayur yang meningkat, serta camilan yang terencana. Yang paling penting: saya belajar mengatasi pemicu, bukan hanya menutupinya dengan aturan diet ketat.
Apa yang bisa kamu ambil dari cerita saya? Mulailah kecil. Meditasi 5–10 menit sehari memberi ruang untuk pertanyaan sederhana: “Apa yang aku rasakan?” Gabungkan dengan praktik makan sadar sebelum makan. Jangan menunggu transformasi dramatis; perbaikan konsisten kecil yang menumpuk akan lebih tahan lama. Dan ukur: data sederhana—berat badan, energi, atau tes darah—membantu melihat kemajuan nyata.
Ada satu refleksi terakhir: nutrisi seimbang bukan hanya soal hitungan kalori. Ia soal hubungan kita dengan makanan. Meditasi mengubah relasi itu. Membuat kita lebih hadir saat makan, lebih peduli saat memilih, dan lebih sabar dalam proses perubahan. Kalau saya bisa memulai dari balkon apartemen yang sempit dan jadwal gila, kamu juga bisa. Mulai hari ini: tarik napas, tanya pada diri sendiri, dan coba makan satu suapan lebih perlahan.
Dalam dunia medis, hasil diagnosis laboratorium yang akurat adalah kunci buat nentuin langkah pengobatan yang…
Di My Labs Diagnostic, kami berpegang teguh pada prinsip bahwa "mencegah lebih baik daripada mengobati",…
Hari-Hari Sulit yang Tak Terduga Di awal tahun 2020, dunia seakan terbelah. Pandemi mengubah banyak…
Bro, mari kita bicara layaknya dokter spesialis yang sedang membedah pasien. Kalau history transaksi lu…
Ketika Pikiran Terlalu Berat: Perjalanan Mencari Kesehatan Mentalku Beasiswa sering kali dianggap sebagai jalur untuk…
Awal Perjalanan Meditasi: Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan Pada suatu pagi yang cerah di bulan…